Jusuf Kalla Soroti Unsur Politik dalam Kebijakan Tarif Resiprokal Donald Trump

JAKARTA – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK), menilai bahwa penerapan kebijakan tarif resiprokal oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap negara mitra dagang memiliki muatan politik yang signifikan.
1. Unsur Politik dalam Kebijakan Tarif
Menurut JK, kebijakan proteksionisme perdagangan internasional yang diterapkan AS didominasi oleh pertimbangan politik, mengingat keputusan tersebut diambil oleh negara secara langsung. Ia berpendapat bahwa langkah Trump yang mengejutkan banyak negara bertujuan untuk memperkuat daya saing AS di kancah global.
“Impor itu berdasarkan komoditas, ini yang dilakukan negara, jadi ini lebih banyak politik, karena negara yang kenakan,” ujar JK saat ditemui di kediamannya di kawasan Brawijaya Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (5/4/2025).
“Jadi ini punya sifat emosional, jadi punya unsur politis,” tambahnya.
2. Perlunya Langkah Strategis
JK menekankan bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil langkah strategis untuk merespons kebijakan Donald Trump. Meskipun demikian, ia mengingatkan agar Indonesia tidak terlalu khawatir terhadap situasi ini.
“Trump mengisi media di seluruh dunia, saya ingin menggambarkan situasi agak berbeda, perdagangan itu bagaimana. Kalau kita bicara kita utamakan dulu Indonesia, efeknya, yang diatur diterbitkan oleh AS ialah tarif bea masuk impor,” jelasnya.
3. Tarif Resiprokal dan Dampaknya bagi Indonesia
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan AS mencakup tarif antara 10 persen hingga 39 persen. Indonesia menjadi salah satu negara yang dikenakan tarif sebesar 32 persen. Sebagai perbandingan, China dikenakan tarif 34 persen, Uni Eropa 20 persen, Vietnam 46 persen, India 26 persen, Jepang 24 persen, Thailand 36 persen, Malaysia 24 persen, Filipina 17 persen, dan Singapura 10 persen.
Penerapan tarif ini menimbulkan kekhawatiran bagi negara-negara berkembang di Asia Tenggara dan Afrika yang tengah menghadapi tantangan seperti konflik dan bencana alam. Negara-negara seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar menghadapi tarif masing-masing sebesar 49 persen, 48 persen, dan 44 persen. Langkah ini dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperburuk kondisi sosial di negara-negara tersebut.
4. Implikasi Kebijakan Tarif Resiprokal
Kebijakan tarif resiprokal yang diperkenalkan oleh Trump bertujuan untuk menyeimbangkan tarif yang dikenakan oleh negara lain terhadap produk AS. Namun, pendekatan ini menuai kritik karena berpotensi melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan dapat memicu perang dagang global. Negara-negara seperti Jepang, India, dan Uni Eropa menjadi target utama dari kebijakan ini.
Bagi Indonesia, kebijakan ini menuntut pemerintah untuk mempersiapkan skenario guna mengantisipasi dampak negatif yang mungkin timbul. Langkah-langkah strategis diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan hubungan perdagangan internasional.
5. Perspektif Regional
Di kawasan Asia Tenggara, kebijakan tarif resiprokal AS menimbulkan ketidakpastian. Negara-negara dengan ketergantungan tinggi pada ekspor ke AS, seperti Vietnam dan Malaysia, perlu menyesuaikan strategi perdagangan mereka. Selain itu, peningkatan hambatan perdagangan dapat mendorong negara-negara ASEAN untuk memperkuat kerja sama intra-regional dan mencari pasar alternatif guna mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
6. Tantangan bagi Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan signifikan akibat kebijakan proteksionisme AS. Peningkatan tarif impor oleh AS dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS, yang merupakan pasar ekspor terbesar kedua bagi Indonesia. Selain itu, potensi penghapusan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh AS dapat meningkatkan biaya ekspor produk Indonesia seperti bahan kimia, elektronik, furnitur, dan karet.
7. Kesimpulan
Pernyataan Jusuf Kalla menyoroti pentingnya memahami dimensi politik dalam kebijakan perdagangan internasional. Indonesia perlu merumuskan strategi yang tepat untuk menghadapi dinamika perdagangan global yang terus berubah, termasuk kebijakan proteksionisme dari negara mitra dagang utama. Kerja sama regional dan diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah penting dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.